Dua artikel kedai bakmi kali ini menjelaskan bahwa “Suatu Ketika di Zaman Baheula…” kedudukan kaum perempuan MUNGKIN lebih baik dari zaman sekarang.
Benar atau tidak?
Sila simpulkan sendiri…
—————————————————————
Membaca bagian-bagian awal buku “The No-Nonsense Guide to World History” oleh Chris Bazier seakan membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang feminis dengan agenda terselubung. (Conspiracy theory mode on)
Dikatakan dalam buku tersebut bahwa pada awal mula peradaban manusia, perempuan berperan cukup besar dalam wilayah publik dan pembagian kerja antara kedua gender yang relatif setara.
Masyarakat berburu dan meramu (hunting and gathering) misalnya. Kegiatan berburu hewan memang dilakukan sebagian besar oleh kaum laki-laki, namun hasil berburu yang didapat tidaklah mungkin untuk mencukupi kebutuhan hidup. Mengambil contoh dari masyarakat berburu-meramu yang masih eksis di zaman modern ini, !Kung San Bushmen dari Botswana, mereka berburu hanya 1 minggu perbulan. Hasil buruan yang didapat tidak mungkin bertahan lama di iklim Afrika yang panas. Alhasil, sebagian (besar?) menu makanan bagi orang !Kung adalah berbagai macam tumbuhan yang dikumpulkan oleh kaum perempuan.
Kaum perempuan di zaman Mesir kuno (sekitar 2000 SM?) mempunyai kemandirian finansial yang tinggi. Saking mandirinya, seorang suami yang meminjam uang dari istrinya bisa dikenai bunga pinjaman! Salah satu sumpah yang diucapkan oleh seorang suami di hari pernikahannya adalah agar tidak pernah bertentangan dengan kehendak istrinya. (Aturan main yang sungguh menyenangkan. =P Wew… bebek mulai berpikir, apakah bebek terlahir terlalu telat?)
Seperti yang pernah disinggung oleh Dan Brown dalam novel ‘Da Vinci Code’ dan salah satu postingan kopas bebek “The Great Goddess”, zaman baheula dulu perempuan menduduki peran-peran penting dalam ranah keagamaan. Ada Tuhan yang feminin, ada pendeta-pendeta wanita (berlawanan dengan zaman yang lebih kemudian di mana wanita yang “mempunyai kekuatan spiritual” dikejar-kejar sebagai seorang penyihir) dan ada upacara keagamaan di mana terjadi acara persetubuhan massal (Di zaman sekarang, pemandang-an yang kira-kira serupa mungkin cuma bisa ditemui di film-film porno yang menyajikan adegan orgy party).
Jika memang benar orang dulu tidak mengerti bahwa seorang anak datang dari kegiatan kejang-kejang nikmat (well, bebek sendiri baru mengerti tentang konsep ini entah kelas berapa. Bagi yang belum pernah membaca postingan yang membahas hamil dan lahir, sila klik di sini), maka bebek bersabda bahwa pada mula peradaban manusia, kegiatan sex adalah kegiatan rekreasi semata (Kalau mereka gak ngerti fungsi sex untuk kegiatan membuat anak, lalu alasan apalagi yang membuat mereka mau repot-repot bergoyang?).
Dipikir-pikir lucu juga kalau di waktu kemudian (dan dalam batas tertentu masih berlangsung sampai sekarang) sex kemudian dianggap sesuatu yang kotor dan oleh pihak-pihak tertentu, sex yang bersifat rekreasi adalah jahat sifatnya.
Lanjut ke bagian kedua…
tags: Kedai Bakmi author: bebek rewel comments: 1 Comment
April 22nd, 2007
Guru sejarah bebek pernah bilang, peradaban manusia dimulai dengan sistem matriarkat bukan patriarkat. (Heran. Kok gak ketemu kata matriarki dan partriarki di KBBI ya? Apa karena kamus bebek edisi tahun jebot?)Â
Selama ini bebek tidak menemukan penjelasan yang cukup memuaskan mengenai proses perubahan  sistem tersebut sampai bebek membaca buku yang berjudul “The No-Nonsense Guide to World History” oleh Chris Brazier (Bacaan ringan yang sangat amat menghibur bagi para penggemar sejarah).
Agak aneh memang untuk membayangkan kalau suatu saat di zaman baheula, wanita pernah menduduki peringkat yang mungkin lebih baik daripada zaman sekarang. Mereka berperan sebagai Tuhan, pemimpin agama dan mempunyai peran yang cukup setara dengan rekan pejantannya.
—————————————————————————
In the beginning God was a woman. For at least 25000 years people worshipped the Mother of All Things. The Father God of Judaism, Christianity and Islam has been revered for only a tenth of that time.
The worship of the Great Goddess emerged out of woman’s clear link with nature: the way she produced blood in perfect rhythm with the with cycles of the moon. Even more magical and vital was her production of children, since people did not understand men’s part in this miraculous process – some Aboriginal peoples, for instance, believed that spirit children dwelt in pools and trees and entered woman at random when they wished to be born. So it seemed natural to believe that one great mother had brought the world into being. Thus the Babylonian goddess Ishtar was herself the cosmic uterus, while in Roman mythology Gaia, the Mother Earth, emerged from primal vagina, the abyss of all-feeling and all-knowing.
But this Great Goddess oversaw death as well as birth. And she could demand sacrifice in return for co-operation. Often this was a sexual sacrifice, since the Goddess had a voracious sexual appetite – the fruitfulness of crops and animals was only ever a by-product of the Goddess’s own sexual activity and enjoyment. So in many cultures a beautiful young man was sacrified to her each year – ‘king’ was originally an honorary title given to this man. The Assyrian goddess Anaitis was honored each year by the most beautiful boy, who would be painted and clothed in red and gold and spend a last day and night having sex with her priestesses in full public view. He would then be covered with a cloth of gold and set on fire.
This did not always mean that women held power on earth – there was no age of matriarchy as a mirror image of the later patriarchy – though examples of women power bound. Queen Sammurammat of Assyria, for instance, ruled the country for 42 years and led military campaigns as far as India, calling herself the Goddess. In ancient Egypt dynastic power passed through the woman even when the Pharaoh was male.
Eventually, though, the Great Goddess was dethroned by male Gods. This took place over hundreds, even thousands, of years at a different pace in each culture. The starting-point was usually men’s discovery of their role in birth. But the change was also linked with social factors. For thousands of years women were responsible for growing food through horticulture.
But about 6000 BC an upsurge in population caused a shift to more intensive agriculture, which saw Nature as having to be tamed. Men took on this role, plowing and sowing the passive fields in the same way as they saw themselves acting to women (hence the word ‘husbandry’). And the more military become the organization of urban society, the more men with their greater physical strength gained the upper hand.
But whatever the reason, the phallus now become the focus of worship, the sacred source of all that lived. Phallic pillars proliferated in Greece, and in India Shiva achieved dominance over the other two main gods just by the size of his organ – for thousands of years the priest of Shiva came out naked ringing a bell to call women to kiss his holy genitals.
So the Goddess was deposed. This revolution is represented in most mythologies, which begin with a Great Mother Creator but then see her son or lover gaining more and more power until eventually he rules alone. In the simplest mythological version, that of the Semitic Babylonians, the god-king Marduk wages war on Ti’amat, Mother of all Things, and hacks her to pieces. He forms the world from the pieces of her body.
The Kikuyu of Kenya recall how their male ancestors overthrew women by raping them all on the same day and mastering them nine months later. In an Aztec ceremony every December a woman dressed up as Ilamtecuhtli, the old goddess of earth and corn, was decapitated and her head presented to a priest wearing her costume and mask.
But this was only the beginning: in the 1200 years between 600 BC and 600 AD five major religions came into being, all based on the divine word of one man. From then on male power was more enshrined than ever and the age of patriarchy began.
tags: Kopas author: bebek rewel comments: No Comments
April 17th, 2007
Dapet dari milis yahugrup. Sumber aslinya dari CNN.
Sayang alamat aslinya rusak…
————————————————-Â
• Woman presents special plate of fish to man; he takes a bite and is married
• Matriarchal society exists in archipelago of 50 islands off Guinea-Bissau
• Missionaries bring new concept of men proposing, causing strife in families
• Women build the homes: Once completed, couple moves in, officially wed
ORANGO ISLAND, Guinea-Bissau (AP) — He was 14 when the girl entered his grass-covered hut and placed a plate in front of him containing an ancient recipe.
Like all men on this African isle, Carvadju Jose Nananghe knew exactly what it meant. Refusing was not an option. His heart pounding, he lifted the steaming fish to his lips, agreeing in one bite to marry the girl.
“I had no feelings for her,” said Nananghe, now 65. “Then when I ate this meal, it was like lightning. I wanted only her.”
In this archipelago of 50 islands of pale blue water off the western rim of Africa, it’s women, not men, who choose. They make their proposals public by offering their grooms-to-be a dish of distinctively prepared fish, marinated in red palm oil.
It’s the equivalent of a man bending on one knee and offering a woman a diamond ring, except that in one of the world’s matriarchal cultures, it’s women that do the asking, and once they have, men are powerless to say no.
To have refused, explained the old man remembering the day half a century ago, would have dishonored his family — and in any case, why would he want to choose his own wife?
“Love comes first into the heart of the woman,” explained Nananghe. “Once it’s in the woman, only then can it jump into the man.” ‘Now the world is upside down. Men are running after women’
But the treacherous tides and narrow channels that have long kept outsiders out of these remote islands are no longer holding back the modern world. Young men are increasingly leaving Orango, located 38 miles (60 kilometers) off the coast of Guinea-Bissau, a country in West Africa.
They find jobs carrying luggage for tourist hotels on the archipelago’s more developed islands; others collect oil from the island’s abundant palm trees and sell it on the African mainland.
They return bringing with them a new form of courtship, one which their elders find deeply unsettling.
“Now the world is upside down,” complained 90-year-old Cesar Okrane, his eyes obscured by a cloud of cataracts. “Men are running after women, instead of waiting for them to come to them.”
Standing in the shade of a grass roof, he holds himself upright with the help of a tall spear and explains that when he was young he took extra care to maintain his physique, learned to dance and practiced writing poetry — all ways in which men can try to attract women, without overtly making the first move. ‘Now, with men choosing, divorce has become more common’.
In recent years, young men have become increasingly bold, going so far as to openly propose marriage — a dangerous turn, say traditionalists.
“The choice of a woman is much more stable,” explains Okrane. “Rarely were there divorces before. Now, with men choosing, divorce has become common.”
With records not readily available, it’s unclear how many divorces there were earlier, but islanders agree that there are significantly more now than in the years when men waited patiently for a proposal on a plate.
They waited some more, as their brides-to-be then set out for the eggshell-white beaches encircling the island, looking for the raw materials with which to build their new house.
Women build homes; afterward it’s official
Women built all the grass-covered huts here, dragging driftwood back from the ocean to use as poles, cutting blankets of blond grass to weave into roofs and shaping the pink mud underfoot into bricks. Only once the house is built, a process that takes at least four months, can the couple move in and their marriage be considered official.
There are matrilineal cultures in numerous pockets of the world, including in other parts of Africa, as well as in China’s Yunnan province and in northeastern Thailand, says anthropologist Christine Henry, a researcher at France’s elite National Center for Scientific
Research, or CNRS.
But the unquestioned authority given to women in matters of the heart on this island is unique — “I don’t know of it happening anywhere else,” says Henry, who has written a book on the customs of the archipelago.
That things are changing is evident in the material chosen for the island’s newest house: concrete. It was erected by paid laborers, not local women.
Although priestesses still control the island’s relationship with the spirit world, their clout is waning, as churches sown by missionaries have taken root. Missionaries bring upsetting new custom of men proposing
“When I get married it will be in a church, wearing a white dress and a veil,” says 19-year-old Marisa de Pina, who strikes a modern pose under the blond grass of her family’s hut, wearing tight Capri pants and sequined sandals.
She says the Protestant church she attends has taught her that it is men, not women, that should make the first move, and so she plans to wait for a man to approach her. To make her point, the teenager pops into her hut and returns holding a worn copy of the New Testament, its pages stuffed with Post-it notes, letters and business cards.
It’s a decision that has caused strife inside the mud walls of her family’s house.
Like her niece, Edelia Noro wears store-bought clothes instead of the grass skirts still favored by some older women. She, too, attends church. But she says she doesn’t see why these trappings of modern life should alter the system of courtship.
More than two decades ago, she set off for the closest beach looking for the ingredients with which to propose to the man she loved. Noro waited for the tide to recede, then dug in the wet sand for clams, collecting them in a woven basket. She was embarrassed, she said, that she was too poor to afford a proper meal of fish and could only offer her groom-to-be what she could gather with her own hands. So after preparing the dish, she placed it in front of him, then ran and hid behind a tree, peeking out to see his reaction.
“He did not hesitate and ate right away. I could see the love shining in his eyes,” she said, a glow spreading across her cheeks. ‘I learned the hard way, a man never approaches a woman’
Although the island’s unique customs may be fading, there are still pockets of resistance. Often, it’s women that lure men back into the fold of ancient ways.
Now 23, Laurindo Carvalho first spotted the girl when he was 13. He worked in a tourist hotel, wore jeans, and owned a cell phone and thought of himself as modern and so he thought he could turn tradition on its head, asking the girl to marry him. With the wave of a hand, she rejected him.
Six years passed and one day, when both were 19, he heard a knock at his door. Outside, his love stood holding out a plate of freshly caught fish, a coy smile on her face.
Carvalho still wears sandblasted jeans and flip-flops bearing the Adidas logo, but he now sees himself as embedded in the village’s matriarchal fiber.
“I learned the hard way that here, a man never approaches a woman,” he says.
tags: Kopas author: bebek rewel comments: 5 Comments
April 17th, 2007
Sabtu malam, seperti biasa bebek mencari tontonan ringan untuk menemani makan malam. Kali itu bebek nonton Doraemon The Movie 2003 yang berjudul “The Wind Wizard”.
Sejak awal cerita, bebek merasa seperti ada yang gak beres dengan Doraemon. Peran Doraemon dalam mempengaruhi jalan cerita sangat terbatas. Ia seakan-akan sekedar pemain figuran yang numpang lewat. Karakternyapun terasa ada yang ganjil. Doraemon begitu ganjen…
Kata pertama yang langsung muncul ketika melihat “acting” Doraemon adalah Gay. Bukannya bebek bermaksud untuk sengaja menggunakan kata gay dengan konotasi negatif (Dalam beberapa hal bebek percaya “mitos” yang menyebutkan bahwa lelaki yang terlalu sempurna pastilah seorang gay) dan bebek juga sadar tidak semua gay itu bertingkah melambai. Tapi terus terang nonton film ini serasa memberi tamparan keras ke muka bebek.
Doraemon yang di artikel lain bebek puji-puji sebagai suami ideal ternyata sangat genit, centil dan berkarakter payah. (Bayangkan betapa hancurnya perasaan anda jika kekasih belahan jiwa tiba-tiba mengaku kalau dia adalah pecinta sesama jenis…)
Berikut ini adalah beberapa screenshot dari adegan-adegan ganjil sepanjang film:Â

Salah satu “keganjilan” pertama yang bebek temukan adalah ukuran tinggi Doraemon berbanding tinggi Nobita. Seingat bebek kalau di seri Doraemon yang ditayangkan di tiap minggu pagi itu, tinggi Doraemon kira-kira sekuping (hampir menyamai) Nobita.Â
Â
…

Ganjen mode on…

Nyanyi lagu opera??Â

“Ooo… Juliet…”
tags: Doraemon author: bebek rewel comments: 25 Comments
April 10th, 2007
Salah satu postingan dari milister (peserta milis) yang bebek idolakan.
Jika dikau suka artikel “Perkenalkan, ini Suami…-suami saya…” di kedai bakmi, maka bebek jamin dikau juga suka artikel ini. (Malah bebek bilang jauh lebih lucu artikel ini daripada artikel yang bebek buat)
Sila menikmati… ^______^
note: Ada beberapa typo yang bebek benerin (misal: salah ketik atau kurang 1 huruf)
———————————————————————————-
Monogami, Poligami, Discovery dan Animal Planet
Oleh: Mula Harahap
Bila musim kawin telah tiba, maka ratu lebah akan keluar dari sarangnya dan terbang tinggi-tinggi. Ratu lebah ini akan terbang sejauh dan setinggi mungkin. Sementara terbang, dia dikejar oleh banyak lebah pekerja jantan yang sehat dan ganteng. Lalu dalam “nuptial flight” itu satu persatu dari lebah-lebah jantan itu akan ngos-ngosan dan keok. Bila yang mengejarnya sudah tinggal seekor, maka barulah ratu lebah akan memasrahkan diri kepada si jantan untuk dikawini. Dan inilah cara lebah madu untuk “memperbaiki
keturunan”. Ratu yang paling cantik dan sehat akan dibuahi oleh jantan yang paling ganteng dan sehat. Tapi yang mengherankan ialah mengapa setelah dikawini dan sebelum balik ke sarang, sang ratu harus membunuh jantan yang ganteng dan sehat itu?
Kebiasaan membunuh suami yang sudah memberi “nafkah batin” ternyata bukan hanya dimiliki oleh lebah. Belalang sembah betina ternyata lebih “sadis” lagi. Bila dia sudah dikawini oleh sang jantan (yang ukuran tubuhnya biasanya lebih kecil), maka ia langsung melumat dan menyantap kepala si jantan dengan rahangnya yang keras itu. Apakah si betina takut bahwa si jantan kelak akan membocorkan rahasia-rahasia pribadinya, atau menyebar luaskan filem yang terekam di HP-nya?
Kuda laut lain lagi. Si betina akan memasukkan sel-sel telurnya ke “rahim” yang terdapat di perut si jantan untuk dibuahi. Lalu setelah dibuahi, sel-sel telur si betina akan berkembang di dalam “rahim” si jantan sampai kemudian lahirlah (keluar dari sebuah sebuah lubang ) anak-anak kuda laut yang utuh. Yang membuat masalah menjadi memusingkan tujuh-keliling ialah, bagaimana cara menentukan bahwa fihak yang mengeluarkan sesuatu disebut “betina”, sementara fihak yang kemasukan sesuatu disebut jantan?
Konsep kuda laut tentang keluarga mungkin agak mirip dengan konsep ikan mujahir. Hanya praktek ikan mujahir tidak seaneh dan sebrutal kuda laut. Bila telur si betina sudah dibuahi oleh si jantan, maka si betina pergi melenggang. Adalah tugas si jantan untuk menjagai telur yang ditaruh di balik-balik batu itu sampai menetas. Bila telur sudah menetas, maka adalah tugas si jantan pula untuk memomong anak-anak yang jumlahnya ratusan itu. Oleh bapaknya, anak-anak itu digendong di dalam mulut. Kalau suasana sekitar cukup aman, maka anak-anak itu dibiarkan untuk bermain-main. Tapi bila ada bahaya—hup—dengan sekali sedot anak-anak itu dibawa masuk kembali ke dalam mulut si bapak.
Masih banyak lagi hewan yang memiliki konsep “feminist” yang sangat progresif, seperti yang dimiliki oleh kuda laut dan ikan mujahir, dimana setelah kawin sang betina melengos pergi dan “happy-happy”, sementara sang jantan lintang-pukang mengurusi rumah tangga.
Tapi konsep perkawinan yang banyak terjadi di dunia hewan adalah konsep para jantan yang “macho” dan tak bertanggung-jawab, yang tahunya hanya mengawini betinanya lalu kemudian melenggang pergi. Ada pun urusan menjaga kehamilan, melahirkan dan membesarkan anak dibiarkan dilakukan sendiri oleh betina (ibu).
Praktek monogami yang agak “sopan” biasanya ditemukan di dunia burung. Si jantan dan betina pacaran, kawin, membangun sarang bersama-sama, dan membesarkan anak bersama-sama pula. Burung-burung penguin jantan Antartika selalu sabar untuk mengerami telur-telurnya, dan membiarkan betinanya untuk pergi beristirahat dan mencari makanan di laut. Nanti, kalau si betina sudah kembali, barulah ia boleh pergi. Dan hal yang mengagumkan ialah, bahwa sementara pasangannya menunggu di sarang, tidak pernah terbersit pikiran penguin jantan atau betina untuk berselingkuh. (Padahal di bibir pantai yang diliputi es itu ada ribuan penguin yang berdiri “plengak-plengok”. Semua memakai tuksedo “hitam-putih” yang sama. Kalau saja ada satu pasangan yang berselingkuh di antara ribuan penguin yang seragam itu, bagaimana mungkin suami atau isterinya bisa mengetahuinya dari kejauhan sana?).
Tapi walau pun demikian kesetiaan burung-burung hanya sebatas untuk satu musim kawin. Belum pernah ada burung yang berperangai seperti manusia, yaitu yang menjalani hidup bersama dalam ratusan “musim kawin” sampai mereka dipisahkan oleh kematian.
Dalam kasus-kasus tertentu ada juga hewan-hewan yang menjalani hidup perkawinan sampai beberapa musim kawin. Kuda nil jantan selalu ingin kembali ke isteri yang sama. Tapi karena masa perawatan anak kuda nil memakan waktu beberapa tahun (sebelum disapih dan disuruh mandiri), maka kadang-kadang si jantan atau si bapak bertindak kurang-ajar. Ia tega membunuh anaknya, dengan harapan agar isterinya kembali “hot” dan bisa dikawini. Karena itu selama anaknya masih kecil , kuda nil betina selalu memandang jantannya dengan penuh “curigation”.
Anjing-anjing liar Afrika lain lagi. Mereka juga melakukan praktek monogami. Tapi karena mereka hidup dalam sebuah paguyuban yang besar, mereka membagi tugas. Ada betina-betina tertentu yang bertugas sebagai “baby sitter” sementara betina-betina yang lain (bersama seluruh anjing-anjing jantan) pergi mencari makan (mengejar karir).
Beberapa jenis kupu-kupu lain lagi tingkahnya. Mereka memang melakukan praktek perkawinan monogami. Si jantan membuahi si betina, lalu mati. Si betina pun setelah meletakkan telurnya akan mati. Telur-telur itu akan bermetamorfose menjadi ulat, kepompong, lalu kupu-kupu. Begitu menjadi kupu-kupu, dalam hitungan beberapa jam, mereka akan kawin lagi, lalu mati. Sukar untuk mencerna konsep yang berbunyi seperti sajak Chairil Anwar ini, yaitu “sekali berarti, sudah itu mati”. Koq tujuan hidup hanya untuk “gituan” sih?
Praktek perkawinan monogami yang dilakukan oleh kelelawar akan membuat jantung deg-degan. Pada siang bolong (di malam hari kelelawar mencari makan), sambil memegang ranting pohon dengan salah satu sayapnya, kelelawar jantan akan beringsut mendekati kelelawar betina. Lalu sambil juga memegang ranting dengan salah satu sayapnya, kelelawar betina akan menyerahkan dirinya kepada si jantan. Lalu dalam posisi yang rumit mereka akan melakukan perkawinan. Dan perkawinan itu dilakukan di atas sebuah pohon yang tingginya beberapa puluh meter dari atas tanah! Kalau saja salah satu dari kelelawar itu terlalu “exited” dan lupa berpegangan, maka kepalanya bisa hancur berantakan.
Lelaki yang suka menenggak obat perangsang (yang risikonya bisa mati mendadak di hotel dan membuat malu keluarga), barangkali baik juga meniru praktek kelelawar: Menaikkan hormon dan adrenalin dengan cara bergelayut-an dan bermain cinta di menara transmisi listrik tegangan tinggi!
Praktek-praktek poligami dalam kehidupan singa, kera, atau gorilla juga tak kalah gegap-gempita. Di dalam koloni singa terdapat seekor jantan yang dominan, yang cenderung menguasai semua betina yang ada. Tapi kalau ada singa jantan muda yang bisa merayu seekor betina, lalu mengajaknya untuk memisahkan diri dan membentuk koloni baru, singa jantan yang paling dominan itu tak terlalu perduli. Mungkin singa jantan tua itu berkata dalam hati, “Pokonya jangan kawin dan bermesra-mesraan di depan mata saya. Kalau kalian mau membentuk koloni sendiri, silakan. Asal kalian tahu saja, hidup menyendiri di luar sana tidaklah mudah.”
Hal menarik yang bisa ditemukan di dunia hewan ialah, bahwa tak pernah ada betina yang mau dijadikan isteri kesekian oleh si jantan hanya karena alasan keamanan atau ekonomi. Berbeda dengan di dunia manusia, di dunia hewan justeru betina-betina atau isteri-isteri itulah yang harus mencari makan untuk anak-anak dan untuk suami.
Di Taman Nasional Serengeti atau Massai-Mara di Afrika sana, justeru singa-singa betina itulah yang harus tunggang-langgang mengejar seekor impala atau zebra. Nanti, setelah impala atau zebra itu berhasil ditundukkan, barulah si jantan datang berlenggang-lenggok menuntut bagian yang paling enak. Sisanya barulah menjadi santapan para betina dan anak-anaknya. (Adapun sang singa jantan, ia akan kembali duduk-duduk di kerindangan pohon. Terkantuk-kantuk sambil mengibas-ngibaskan ekornya mengusir lalat).
Kehidupan poligami yang agak brutal dan menyerupai kehidupan poligami manusia saya temukan di dunia kera. Kera jantan yang paling tua (paling berpengalaman) dan paling kuat akan memonopoli semua betina yang ada di dalam kelompoknya. (Tak perduli apakah betina-betina itu adalah isteri, gundik, anak, cucu, keponakan, ipar dsb). Kera-kera jantan lainnya, yang masih muda, jangan coba-coba untuk ikut mencicipi betina. Dia akan kena “hajar” sampai babak-belur. Tapi karena betina-betina yang harus diawasi
oleh si jantan begitu banyaknya, maka kadang-kadang ia kecolongan juga. Akan ada saja anak-anak muda yang berani mencuri-curi dan menaiki salah satu betina. Dan herannya si betina pun mau-mau saja. Mungkin si betina tahu, kalau tertangkap basah maka yang kena hajar adalah si jantan muda, bukan dirinya. Lagipula—saya rasa—ia juga merasa bosan hanya berhubungan dengan jantan yang sama. Kalau perkawinan “curi-curi” itu
memberi buah kelahiran, maka si jantan tua yang berkuasa itu selalu merasa bahwa yang lahir itu adalah buah dari benihnya. Dan si betina pun tak berani “berkoar-koar” untuk menyatakan siapa bapak yang sesungguhnya dari anak yang baru lahir itu.
Kehidupan poligami seperti yang dijalani oleh “raja” kera itu sebenarnya tidaklah nyaman. Setiap saat ia harus waspada. Karena urusan “esek-esek” adalah urusan hajat hidup, maka setiap saat ada saja jantan muda yang menantangnya untuk duel. Karena itu setiap saat selalu saja ada  kemung-kinan baginya untuk babak belur (bahkan mati) dan tergeser dari tampuk kepemimpinan. Kalau “raja” yang lama telah lengser, maka giliran si jantan yang berhasil mengalahkannya itulah yang menjadi raja. Sementara jantan-jantan lain, yang prestasinya “biasa-biasa saja”, tinggal menjadi pecundang dan menikmati seks dengan mencuri-curi. Untuk bisa mengubah nasib, maka jantan-jantan “kelas dua” itu harus nekad dan berani mengambil risiko untuk menantang raja.
tags: Kopas author: bebek rewel comments: 5 Comments
March 31st, 2007