bebek rewel

Men are from Mars, Women are from Venus, Duck is from Earth

Monogami, Poligami, Discovery dan Animal Planet

Salah satu postingan dari milister (peserta milis) yang bebek idolakan.

Jika dikau suka artikel “Perkenalkan, ini Suami…-suami saya…” di kedai bakmi, maka bebek jamin dikau juga suka artikel ini. (Malah bebek bilang jauh lebih lucu artikel ini daripada artikel yang bebek buat)

Sila menikmati… ^______^

note: Ada beberapa typo yang bebek benerin (misal: salah ketik atau kurang 1 huruf)
———————————————————————————-

Monogami, Poligami, Discovery dan Animal Planet

Oleh: Mula Harahap

Bila musim kawin telah tiba, maka ratu lebah akan keluar dari sarangnya dan terbang tinggi-tinggi. Ratu lebah ini akan terbang sejauh dan setinggi mungkin. Sementara terbang, dia dikejar oleh banyak lebah pekerja jantan yang sehat dan ganteng. Lalu dalam “nuptial flight” itu satu persatu dari lebah-lebah jantan itu akan ngos-ngosan dan keok. Bila yang mengejarnya sudah tinggal seekor, maka barulah ratu lebah akan memasrahkan diri kepada si jantan untuk dikawini. Dan inilah cara lebah madu untuk “memperbaiki
keturunan”. Ratu yang paling cantik dan sehat akan dibuahi oleh jantan yang paling ganteng dan sehat. Tapi yang mengherankan ialah mengapa setelah dikawini dan sebelum balik ke sarang, sang ratu harus membunuh jantan yang ganteng dan sehat itu?

Kebiasaan membunuh suami yang sudah memberi “nafkah batin” ternyata bukan hanya dimiliki oleh lebah. Belalang sembah betina ternyata lebih “sadis” lagi. Bila dia sudah dikawini oleh sang jantan (yang ukuran tubuhnya biasanya lebih kecil), maka ia langsung melumat dan menyantap kepala si jantan dengan rahangnya yang keras itu. Apakah si betina takut bahwa si jantan kelak akan membocorkan rahasia-rahasia pribadinya, atau menyebar luaskan filem yang terekam di HP-nya?

Kuda laut lain lagi. Si betina akan memasukkan sel-sel telurnya ke “rahim” yang terdapat di perut si jantan untuk dibuahi. Lalu setelah dibuahi, sel-sel telur si betina akan berkembang di dalam “rahim” si jantan sampai kemudian lahirlah (keluar dari sebuah sebuah lubang ) anak-anak kuda laut yang utuh. Yang membuat masalah menjadi memusingkan tujuh-keliling ialah, bagaimana cara menentukan bahwa fihak yang mengeluarkan sesuatu disebut “betina”, sementara fihak yang kemasukan sesuatu disebut jantan?

Konsep kuda laut tentang keluarga mungkin agak mirip dengan konsep ikan mujahir. Hanya praktek ikan mujahir tidak seaneh dan sebrutal kuda laut. Bila telur si betina sudah dibuahi oleh si jantan, maka si betina pergi melenggang. Adalah tugas si jantan untuk menjagai telur yang ditaruh di balik-balik batu itu sampai menetas. Bila telur sudah menetas, maka adalah tugas si jantan pula untuk memomong anak-anak yang jumlahnya ratusan itu. Oleh bapaknya, anak-anak itu digendong di dalam mulut. Kalau suasana sekitar cukup aman, maka anak-anak itu dibiarkan untuk bermain-main. Tapi bila ada bahaya—hup—dengan sekali sedot anak-anak itu dibawa masuk kembali ke dalam mulut si bapak.

Masih banyak lagi hewan yang memiliki konsep “feminist” yang sangat progresif, seperti yang dimiliki oleh kuda laut dan ikan mujahir, dimana setelah kawin sang betina melengos pergi dan “happy-happy”, sementara sang jantan lintang-pukang mengurusi rumah tangga.

Tapi konsep perkawinan yang banyak terjadi di dunia hewan adalah konsep para jantan yang “macho” dan tak bertanggung-jawab, yang tahunya hanya mengawini betinanya lalu kemudian melenggang pergi. Ada pun urusan menjaga kehamilan, melahirkan dan membesarkan anak dibiarkan dilakukan sendiri oleh betina (ibu).

Praktek monogami yang agak “sopan” biasanya ditemukan di dunia burung. Si jantan dan betina pacaran, kawin, membangun sarang bersama-sama, dan membesarkan anak bersama-sama pula. Burung-burung penguin jantan Antartika selalu sabar untuk mengerami telur-telurnya, dan membiarkan betinanya untuk pergi beristirahat dan mencari makanan di laut. Nanti, kalau si betina sudah kembali, barulah ia boleh pergi. Dan hal yang mengagumkan ialah, bahwa sementara pasangannya menunggu di sarang, tidak pernah terbersit pikiran penguin jantan atau betina untuk berselingkuh. (Padahal di bibir pantai yang diliputi es itu ada ribuan penguin yang berdiri “plengak-plengok”. Semua memakai tuksedo “hitam-putih” yang sama. Kalau saja ada satu pasangan yang  berselingkuh di antara ribuan penguin yang seragam itu, bagaimana mungkin suami atau isterinya bisa mengetahuinya dari kejauhan sana?).

Tapi walau pun demikian kesetiaan burung-burung hanya sebatas untuk satu musim kawin. Belum pernah ada burung yang berperangai seperti manusia, yaitu yang menjalani hidup bersama dalam ratusan “musim kawin” sampai mereka dipisahkan oleh kematian.

Dalam kasus-kasus tertentu ada juga hewan-hewan yang menjalani hidup perkawinan sampai beberapa musim kawin. Kuda nil jantan selalu ingin kembali ke isteri yang sama. Tapi karena masa perawatan anak kuda nil memakan waktu beberapa tahun (sebelum disapih dan disuruh mandiri), maka kadang-kadang si jantan atau si bapak bertindak kurang-ajar. Ia tega membunuh anaknya, dengan harapan agar isterinya kembali “hot” dan bisa dikawini. Karena itu selama anaknya masih kecil , kuda nil betina selalu memandang jantannya dengan penuh “curigation”.

Anjing-anjing liar Afrika lain lagi. Mereka juga melakukan praktek monogami. Tapi karena mereka hidup dalam sebuah paguyuban yang besar, mereka membagi tugas. Ada betina-betina tertentu yang bertugas sebagai “baby sitter” sementara betina-betina yang lain (bersama seluruh anjing-anjing jantan) pergi mencari makan (mengejar karir).

Beberapa jenis kupu-kupu lain lagi tingkahnya. Mereka memang melakukan praktek perkawinan monogami. Si jantan membuahi si betina, lalu mati. Si betina pun setelah meletakkan telurnya akan mati. Telur-telur itu akan bermetamorfose menjadi ulat, kepompong, lalu kupu-kupu. Begitu menjadi kupu-kupu, dalam hitungan beberapa jam, mereka akan kawin lagi, lalu mati. Sukar untuk mencerna konsep yang berbunyi seperti sajak Chairil Anwar ini, yaitu “sekali berarti, sudah itu mati”. Koq tujuan hidup hanya untuk “gituan” sih?

Praktek perkawinan monogami yang dilakukan oleh kelelawar akan membuat jantung deg-degan. Pada siang bolong (di malam hari kelelawar mencari makan), sambil memegang ranting pohon dengan salah satu sayapnya, kelelawar jantan akan beringsut mendekati kelelawar betina. Lalu sambil juga memegang ranting dengan salah satu sayapnya, kelelawar betina akan menyerahkan dirinya kepada si jantan. Lalu dalam posisi yang rumit mereka akan melakukan perkawinan. Dan perkawinan itu dilakukan di atas sebuah pohon yang tingginya beberapa puluh meter dari atas tanah! Kalau saja salah satu dari kelelawar itu terlalu “exited” dan lupa berpegangan, maka kepalanya bisa hancur berantakan.

Lelaki yang suka menenggak obat perangsang (yang risikonya bisa mati mendadak di hotel dan membuat malu keluarga), barangkali baik juga meniru praktek kelelawar: Menaikkan hormon dan adrenalin dengan cara bergelayut-an dan bermain cinta di menara transmisi listrik tegangan tinggi!

Praktek-praktek poligami dalam kehidupan singa, kera, atau gorilla juga tak kalah gegap-gempita. Di dalam koloni singa terdapat seekor jantan yang dominan, yang cenderung menguasai semua betina yang ada. Tapi kalau ada singa jantan muda yang bisa merayu seekor betina, lalu mengajaknya untuk memisahkan diri dan membentuk koloni baru, singa jantan yang paling dominan itu tak terlalu perduli. Mungkin singa jantan tua itu berkata dalam hati, “Pokonya jangan kawin dan bermesra-mesraan di depan mata saya. Kalau kalian mau membentuk koloni sendiri, silakan. Asal kalian tahu saja, hidup menyendiri di luar sana tidaklah mudah.”

Hal menarik yang bisa ditemukan di dunia hewan ialah, bahwa tak pernah ada betina yang mau dijadikan isteri kesekian oleh si jantan hanya karena alasan keamanan atau ekonomi. Berbeda dengan di dunia manusia, di dunia hewan justeru betina-betina atau isteri-isteri itulah yang harus mencari makan untuk anak-anak dan untuk suami.

Di Taman Nasional Serengeti atau Massai-Mara di Afrika sana, justeru singa-singa betina itulah yang harus tunggang-langgang mengejar seekor impala atau zebra. Nanti, setelah impala atau zebra itu berhasil ditundukkan, barulah si jantan datang berlenggang-lenggok menuntut bagian yang paling enak. Sisanya barulah menjadi santapan para betina dan anak-anaknya. (Adapun sang singa jantan, ia akan kembali duduk-duduk di kerindangan pohon. Terkantuk-kantuk sambil mengibas-ngibaskan ekornya mengusir lalat).

Kehidupan poligami yang agak brutal dan menyerupai kehidupan poligami manusia saya temukan di dunia kera. Kera jantan yang paling tua (paling berpengalaman) dan paling kuat akan memonopoli semua betina yang ada di dalam kelompoknya. (Tak perduli apakah betina-betina itu adalah isteri, gundik, anak, cucu, keponakan, ipar dsb). Kera-kera jantan lainnya, yang masih muda, jangan coba-coba untuk ikut mencicipi betina. Dia akan kena “hajar” sampai babak-belur. Tapi karena betina-betina yang harus diawasi
oleh si jantan begitu banyaknya, maka kadang-kadang ia kecolongan juga. Akan ada saja anak-anak muda yang berani mencuri-curi dan menaiki salah satu betina. Dan herannya si betina pun mau-mau saja. Mungkin si betina tahu, kalau tertangkap basah maka yang kena hajar adalah si jantan muda, bukan dirinya. Lagipula—saya rasa—ia juga merasa bosan hanya berhubungan dengan jantan yang sama. Kalau perkawinan “curi-curi” itu
memberi buah kelahiran, maka si jantan tua yang berkuasa itu selalu merasa bahwa yang lahir itu adalah buah dari benihnya. Dan si betina pun tak berani “berkoar-koar” untuk menyatakan siapa bapak yang sesungguhnya dari anak yang baru lahir itu.

Kehidupan poligami seperti yang dijalani oleh “raja” kera itu sebenarnya tidaklah nyaman. Setiap saat ia harus waspada. Karena urusan “esek-esek” adalah urusan hajat hidup, maka setiap saat ada saja jantan muda yang menantangnya untuk duel. Karena itu setiap saat selalu saja ada  kemung-kinan baginya untuk babak belur (bahkan mati) dan tergeser dari tampuk kepemimpinan. Kalau “raja” yang lama telah lengser, maka giliran si jantan yang berhasil mengalahkannya itulah yang menjadi raja. Sementara jantan-jantan lain, yang prestasinya “biasa-biasa saja”, tinggal menjadi pecundang dan menikmati seks dengan mencuri-curi. Untuk bisa mengubah nasib, maka jantan-jantan “kelas dua” itu harus nekad dan berani mengambil risiko untuk menantang raja.

5 Comments

  1. Comment by zen on April 1, 2007 10:10 pm

    Quotes “Di Taman Nasional Serengeti atau Massai-Mara di Afrika sana, …”
    Pasti tau dari IMAX Spore Science Center yak?!? 😀

    Kebetulan abis dr sana td sore. hahaha… sampe ngantuk2 nontonnya -_-;
    ——————————————————–

    wah… entah d ya. Bebek kan cuma kopas 🙂
    Artikel ini bukan buatan bebek =P

    (bebek)

  2. Comment by !peH on April 2, 2007 3:45 pm

    Mana ada lebah pekerja jantan? Setahuku, lebah pekerja semuanya betina mandul. Yang jantan itu bukan lebah pekerja karena memang tak pernah bekerja. Hidup hanya untuk mengawini betina saja.

    Selebihnya, isinya bagus sih melihat perkawinan dari sudut pandang binatang.

  3. Comment by alien on April 3, 2007 9:57 pm

    bhoaa monyet2 gahar..pinguin baik ya

  4. Comment by mona on May 18, 2009 8:43 pm

    lucuuu… 🙂

  5. Comment by Serati on May 22, 2009 4:50 am

    Kok bebek gak diikutin dalam cerita ini?? biar lebih afdhol gto……fufufufufu………
    btw aq pernah liat lo bebek kawin ma ayam…..ntah gak ad bebek lain pa coba2 cari sensasi gak tau lah……

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment