bebek rewel

Men are from Mars, Women are from Venus, Duck is from Earth

Dongeng, Karnivora, Herbivora

Sadarkah anda jika dalam cerita anak-anak ataupun dongeng, hampir selalu terjadi diskriminasi dalam pembagian peran? Harimau, singa, buaya dan berbagai macam hewan karnivor lainnya hampir selalu diposisikan sebagai penjahat yang memangsa hewan lain yang lemah dan TIDAK berdosa.

Seringkali hewan-hewan karnivora digambarkan dengan watak sombong, rakus dan jahat. Di lain pihak, hewan herbivora digambarkan sebagai sosok yang kalem, pihak yang baik dan bersahabat satu dengan yang lainnya.

Padahal kalau dipikir-pikir, tidak adil rasanya kalau kita menilai sifat mahkluk hidup dari menu makanannya. Bukankah setiap makhluk mempunyai peran tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam? Ada yang menjadi pemakan, ada yang dimakan. Kita tentu tidak dapat berharap agar seekor singa mengubah menu makanannya menjadi sayur mayur. Jika memang terjadi keajaibanpun (maksudnya hewan-hewan buas yang sudah disebutkan di atas menjadi vegetarian), menurut daku keadaan justru akan menjadi lebih buruk. Mungkin akan terjadi kelaparan di seluruh bumi karena tumbuhan menjadi satu-satunya bahan makanan yang tersedia.

Hal yang lebih paradoks adalah penggambaran sifat manusia di dunia dongeng. Jika dongeng tersebut tentang hewan, maka manusia digambarkan sebagai tokoh yang jahat, sangat jahat. Bahkan tidak jarang penggambarannya sedemikian rupa sehingga singapun seakan menjadi hewan lemah yang begitu gentar dengan kedatangan seorang pemburu.

Kadang daku berpikir, penggambaran manusia yang begitu jahatnya apakah tidak mengakibatkan efek negatif kepada anak-anak yang membacanya? Apakah kemudian anak-anak tersebut tidak akan merasa marah kepada spesies mereka sendiri? Sesama Homo sapiens?

Jika dongeng tersebut berkisah tentang orang baik dan orang jahat, maka hampir bisa dipastikan yang mengambil peran antagonis adalah wanita. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Tapi mari kita lihat dan pikirkan “kenyataan” dongeng yang ada. Betapa banyaknya sosok ibu tiru jahat dan nenek sihir brengsek yang buruk rupa. Hampir tidak ada cerita tentang ayah tiri yang jahat apalagi kakek sihir yang jahat. Mengapa bisa begitu? Entahlah, mungkin juga karena umur harapan hidup yang lebih panjang bagi wanita, sehingga dianggap tidak pernah ada penyihir pria yang sempat menjadi kakek-kakek mungkin? Di lain sisi, perempuan juga diberikan kedudukan yang mulia dalam dunia dongeng. Entah tentang seorang gadis yang cerdik dan sabar ataupun ibu yang baik hati.

Lalu di manakah peran kaum adam? Yah.. biasanya sih kalau tidak menjadi pemuda miskin (Contoh: Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda miskin yang sebatang kara, bla-bla-bla…) dengan ujung cerita: ternyata pemuda tersebut adalah pangeran ganteng yang menyamar. Sang pangeran akan menjemput sang putri. Supaya lebih menyentuh, maka sang putri akan diambil dari rakyat jelata yang miskin, lalu mereka berdua menikah di istana dan berbahagia selama-lamanya.

Bah, lagi-lagi anak-anak dibohongi. Penggambaran itu seakan-akan berusaha meyakinkan bahwa pernikahan adalah tujuan akhir yang PASTI bahagia. Kenapa dalam dongeng-dongeng tersebut tidak menceritakan tentang gonjang-ganjing kehidupan rumah tangga? Perang piring terbang, sumpah serapah, tentang pangeran yang ternyata suka ngelirik putri lain dari kerajaan sebelah…

Sekali lagi daku cuma bisa bilang, entahlah… namanya juga dongeng…

1 Comment(s)

  1. Comment by ruth on September 23, 2009 2:38 pm

    ga ad yang commennt….
    be2k jgn sdih..

    hihi..
    BraVo! WuaH LUaR biaSa! NoBEL PRiZeS FoR YOu!
    hehe?

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment