bebek rewel

Men are from Mars, Women are from Venus, Duck is from Earth

The Clash of Noodlelization

Tulisan yang udah lama bebek posting di salah satu milis yang bebek ikutin.

Waktu itu kalau gak salah ada beberapa orang yang mengatakan bahwa bakmi gedungan (baca: franchise) itu lebih ok. Lalu bebek dan beberapa peserta milis lainnya sebagai kelompok pro bakmi gerobak memprotes. Akhirnya terjadi perang kata-kata. Dan bebek pun terdorong untuk menulis tentang teori perbenturan antara 2 aliran perbakmian ini.

Di bawah ini adalah versi yang sudah diedit supaya lebih memenuhi kelayakan sebagai artikel yang berdiri sendiri di bebekrewel.com
—————————————————————————-

Respon pihak pro bakmi gedungan yang cukup heboh membuat bebek berpikir, apakah “dosa” untuk lebih menyukai bakmi gerobak daripada bakmi yang disajikan di gedung ber-AC? Kenapa ada orang yang lebih suka dengan bakmi-bakmi franchise sementara bebek merasa bakmi-bakmi perlente tersebut seakan bakmi zombie yang kehilangan “roh”-nya?

Sementara itu, di sisi lain bebek juga menemukan rekan sejiwa dan sealiran yang lebih menaruh hati kepada bakmi-bakmi sederhana yang dijual di tempat yang tidak keren. Apakah kami adalah makhluk tak jelas yang lebih suka sesuatu yang tidak keren daripada yang perlente? (makin ngaco aja nih kalimat :)) ) Mungkin tidak juga.

Setelah direnungkan lebih jauh, BAKMI (ayam) bagi bebek bukanlah sekedar makanan enak yang mengenyangkan perut. Ketika daku menginjakkan kaki di kedai bakmi, menaruh pantat gendut di bangku plastik dan terbengong-bengong menunggu pesanan yang belum datang, serasa ada sesuatu yang familiar di sana.

Desis kompor gas yang memanaskan kuah, dentingan sumpit dan mangkok yang beradu saat tukang bakmi meratakan bumbu-bumbu bakmi, pengunjung lain yang lagi makan dengan lahap, mangkok bakmi yang bergambar ayam, tempat tissue gulung (yang isinya sering abis itu), tempat plastik di mana sumpit kayu dan sendok kuah berhimpitan… Semuanya begitu familiar buat bebek.

Mungkin hal-hal di atas terasa sepele buat orang lain. Tapi bagi bebek yang tumbuh besar sambil makan bakmi, tempat dan suasana seperti itu mungkin menjadi kesan yang tidak akan pernah terlupakan.

Di tempat seperti itulah bebek kecil yang masih TK makan bakmi bersama mama bebek sepulang sekolah. Di tempat seperti itu juga bebek merayakan berbagai peristiwa penting dan tak penting seperti hari pengambilan rapot, pagi terakhir di Jakarta sebelum berangkat ke Singapur ataupun sekedar mengajak teman atau saudara sambil sesekali meyakinkan mereka kalau bakmi ini memang paling enak sedunia.

Bebek percaya setiap bakmimania mempunyai ritual khusus sebelum dan ketika memakan bakmi. 🙂

Ritual bebek adalah sebagai berikut (Ritual untuk makan bakmi langganan bebek):
1. Bengong2 ketika menunggu bakmi dan kuah

2. Ambil dan lap sendok dengan tissue ketika kuah datang, lalu taruh tissue di meja (sebagai tatakan untuk membuang benda-benda yang tak diinginkan seperti kulit ayam ataupun daun bawang yang terlalu banyak)

3. Ambil sumpit setelah bakmi mendarat di meja

4. Singkirkan benda-benda yang menghalangi bakmi dan makan bakmi “rasa asli” untuk beberapa saat

5. Setelah itu baru ambil cabe yang tersedia (C-A-B-E dan bukan saos), ciprat beberapa sendok kecil ke bakmi, aduk rata dengan sumpit, baru makan sampai habis

6. Kuah diseruput secara selang seling (Dan haram hukumnya untuk disiram ke bakmi seperti halnya haram juga untuk bakmi atau sayur dicemplungkan ke dalam kuah)

7. Kuah pasti masih bersisa ketika bakmi sudah lenyap ke dalam perut. Kalau sudah sampai tahap ini, maka bebek akan menyingkirkan mangkok bakmi dan mendekatkan mangkok kuah. Minum kuah dengan perlahan, sendok demi sendok sampai pada tetes kuah penghabisan

8. Last but not least… Minum 1 gelas teh dalam 1 rombongan teguk.

Memakan bakmi yang dibungkus pulangpun kadang menjadi ritual tersendiri. Jika bakmi yang dibungkus lebih dari satu dan ada pesanan khusus (Misal: “Yang dikaretin 2 itu gak pake daon bawang”), kegiatan ngebakmi ini biasanya dimulai dari “ngeributin” bungkusan mana yang punya siapa. Setelah itu diskusi kecil apakah mau minum kuahnya apa tidak (dan siapa yang ambil mangkok dan sendok ke dapur). Terakhir dan yang paling menantang dari makan bakmi yang dibungkus: membuka plastik cabe!!

Jangan kira membuka plastik cabe adalah perkara remeh! Kadang stress ringan bisa menerjang ketika benda bernama gunting tidak bisa ditemukan di mana-mana. Plastikpun terpaksa dibuka dengan cara manual (baca: dengan tangan atau gigi)

Tentang kertas pembungkus yang berwarna coklat itu, dulu (dan sampai sekarang) bebek sering terpesona ketika tukang bakmi melakukan kegiatan origami-melipat kertas pembungkus dengan cepat sebelum dikaretkan.

Dengan segala kesan di atas, sepertinya tidak aneh dan tidak berlebihan kalau bebek lebih suka dengan bakmi-bakmi gerobak itu daripada bakmi franchise yang dijual di tempat yang “megah” yang ber-AC.

Di tempat yang bersih dan necis tersebut, tidak ada lagi suara desisan kompor, suasana terasa kaku dan dingin, bakmi seringkali terasa seperti buatan pabrik, cabenyapun kadang seperti cabe botolan. Bakmi tersebut terasa sudah kehilangan “roh”-nya 🙁

“Roh” suatu makanan mungkin tidak terletak pada makanan itu sendiri. Tapi pada ritual, kenangan dan persepsi kita.

Dalam hal ini, bagi kelompok pro-bakmi gerobak, makan bakmi bukan cuma terasa di lidah. Tapi juga kenangan bagaimana rasanya kumpul bersama keluarga atau teman. Rame-rame pusing cari meja dan tempat duduk. Ada yang bertugas nyolong bangku plastik dari meja sebelah. Ada yang bertugas ngelap-ngelap sendok dan sumpit untuk 1 meja (kalo kerajinan, daripada bengong doang :P).

Bahkan mungkin untuk orang yang merantau ke Jakarta misalnya, di tempat kedai bakmilah mereka serasa “pulang kampung”. Yang dari Medan ya makan bakmi Medan, yang dari Jambi ya makan bakmi Jambi… Ngomong dalam bahasa daerah masing-masing ke tukang bakminya dan kalau hoki ya bisa bertemu dengan teman lama mungkin?

Di kedai bakmi juga orang-orang tua kadang menceritakan tentang kisah pertualangan di dunia bakmi kepada anak-anak mereka. (Dulu Papa waktu masih kecil di kampung sana, pagi-pagi sering diajak pergi makan bakmi di deket pasar. Rasanya bedalah sama bakmi ini, lebih asli di sana. Kalo yang ini mah udah disesuain sama lidah Jakarta. Bla bla bla… Tentunya cerita tersebut dibumbu sana sini untuk membuat anak-anak makin penasaran)

Dengan segala pengalaman dan kenangan seperti di atas, salahkah kami (woloh… kami bo… Ada yang mau ikutan di pihak bebek untuk membentuk kata “kami” ini? 🙂 ) untuk lebih menyukai bakmi gerobak dengan segala suasananya?

Pada saat yang sama, sebagian orang yang lain mempunyai pengalaman yang berbeda dengan bakmi. Karena satu dan lain alasan (Salah satunya alasan untuk yang Muslim, tentu lebih merasa aman untuk makan bakmi franchise yang ada tulisan halal daripada bakmi gerobak yang gak jelas halal haramnya), mereka tidak mempunyai pengalaman dan kenangan bersama bakmi-bakmi “kaki lima”. Bagi mereka yang pro-bakmi franchise, pengalaman dan kenangan mereka mungkin memang hanya terkait pada bakmi-bakmi franchise ini.

pro-bakmi franchise, pro-bakmi gerobak…

Mungkin kita memang hidup di dua dunia yang berbeda 🙂
——————————————————————–

Lalu tulisan bebek direspon oleh peserta milis yang lain. Ia mempertanyakan lebih jauh tentang “Roh” makanan yang bebek jabarkan di tulisan sebelumnya.

Demikian tanggapan bebek:
——————————————————————–

Bagi bebek, salah satu unsur yang membuat bakmi gedungan terasa “asing” adalah suasananya (Selain tentunya struktur bakmi dan cabe yang cenderung “pabrikan”). Dalam hal ini, daku memakai kata “roh”.

“Roh” itu bisa merupakan suasana, cara menyajikan makanan, tata letak bangku dan bentuk meja (yang bisa mempengaruhi bagaimana orang yang makan semeja saling berinteraksi).

Cara sekelompok orang yang semeja berinteraksi di chinese restaurant tentu beda dengan cara berinteraksi di restoran masakan barat misalnya.

Chinese restaurant cenderung pada sayur yang dimakan ramai-ramai. Oleh karena itu biasanya ada kaca yang bisa diputar-putar dan bentuk mejanya bundar. Masakan barat itu dipesan perindividu, oleh karena itu tidak ada masalah jika meja di western restaurant itu berbentuk memanjang.

Kalau bebek merasa “roh” suatu restoran terasa salah, maka tetap saja bebek merasa ada yang janggal walaupun makanan yang disajikan enak.

“Roh” masakan padang bagi bebek adalah tidak ada AC, suhu ruangan (dengan “pendingin” berupa kipas angin), etalase restaurant dengan piring yang bertumpuk2, cara “memilih” sayur dengan cara memakan yang kita mau dan tidak menyentuh sayur-sayur yang tidak kita suka, nasi yang secuil-secuil setiap kali minta tambah dan cara menghitung bon dengan cara melihat sisa-sisa piring (nasi dan sayur) yang ada di meja.

Bagaimana kalau ada restaurant padang yang ber-AC, makan dengan cara memesan terlebih dahulu (baru kemudian sayurnya datang sesuai pesanan), nasi yang diberikan dalam porsi bakulan (seperti rumah makan kuring-kuringan misalnya).

WEW… walaupun makanannya enak atau bahkan lebih enak daripada yang bebek biasa makan. Tetap saja ada sesuatu yang “janggal”.

Contoh chinese restaurant yang “roh”nya kebaratan itu bisa dilihat di “Court Yard” restaurant di Plaza Indonesia. Masakannya enak!!! Tapi terus terang bebek merasa janggal sekali waktu makan di sana. Suasananya remang-remang, interior modern kebarat-baratan, meja berbentuk kotak, lagunya pun kalo gak salah inget waktu itu lagu instrumental barat. Itu chinese restaurant atau cafe buat orang pacaran??

Chinese food itu lebih terasa sreg kalau dimakan rame-rame bersama teman atau keluarga. Sambil ngobrol ketawa-ketiwi (makanya hampir dipastikan chinese restaurant di manapun akan terasa ribut dan penuh dengan suara seperti dengungan lebah).

Mungkin bebek kecerewetan dalam hal ini.

Yah, namanya juga bebek rewel =p
———————————————————————–

Tulisan serupa mengenai kegundahan seseorang pecinta pizza:
http://food.yahoo.com/blog/sliceamerica/579/a-slice-of-heaven-a-history-of-pizza-in-america

4 Comments

  1. Comment by yuku on May 27, 2008 8:26 am

    Bagus artikelnya mengilhami (loh, maksudnya mo tulis inspiratif). Tapi sayang skali yuku kurang mengenal bakmi, jarang makan bakmi~

  2. Comment by alien on June 17, 2008 8:48 pm

    hiaa bagus skalee biarpun puanjang..jadi keinget kwetiau abang2 di blakang smuki. biarpun kita makan di kelas yg ber-AC, tetep yahud karna sari abang2 uda menyerap ke partikel2 kwetiao =D
    ———————————————
    …………………….

    “Minum 1 gelas teh dalam 1 rombongan teguk” bukannye tu gelas gede kaya gelas bir gitu yeh bek..kembung atuw skali teguk..
    —————————————————————-
    hyup!! XD
    Itu kebiasaan bebek. Minuman penutup. Biasanya kalo makan sama keluarga di chinese restauran yang tehnya gelas bening biasa ya gitu. (Gluk… gluk… gluk… Resmi selesai…)

    trus yg ttg resto chinese, haha iy juga si, makan chinese food tp di resto interior barat, yg enak jg jadi kurang enak..suasana cina encek2 apho apho tempoe dulu-nya kurang.

    trus emank napa ye bakmi dicampur kuah?! gua sih suka yg becek2 tapi tak banjir ^-^
    ———————————————————–
    Ya itu ritual bebek.

    (bebek)

  3. Comment by Big Bear on September 4, 2008 12:37 am

    Bebek…apakah bakmi ini adalah bakmi tempat kita kencan terdahulu yang ditemani ama koko elo.. 😀
    ———————————————————-

    Hyup2!
    Btw, daku baru pulang nonton Turandot di esplanade.
    BUAGUSNYAAAA!!! T___T
    La Traviata yang beberapa bulan lalu bebek nonton di esplanade juga kebanting jauhhhh.

    (bebek)

  4. Comment by eyangputri on October 29, 2008 6:11 pm

    Mie ayam ooh mie ayam…!

    Buat gue gak ada yang ngalahin rasa mie ayam di bawah jembatan penyeberangan jalan wahidin, lapangan banteng.

    Biarpun tempatnya agak jorok, got khas jakarta yang warna keitem-iteman, air dikit, segerombolan ikan cethul kecil2 berenang kesana kemari nyari perhatian ples bau anyir comberan… kalo mangkuk mie udah di tangan, tetep aja jakun ini ketarik ke bawah sambil nggelontorin segenggam ludah!

    Ueenake poolll…!

    Porsinya raksasa, mienya putih halus bulet lonjong (gak pipih ato sedikit persegi…! yg menandakan mie buatan mesin…!!!), gak terselip sedikitpun tulang ayam di sana, pangsit yang hmmmm digigit lembut dan yummy!

    tunggu….!

    tak nikmati dulu pesona netesnya air liurku…!

    Wis lah gak usah banyak kata-kata! pokoknya bebek rewel dan bebek-bebek laen pasti langsung tahu dimana lidah gue berpihak…!

    ngemeng-ngemeng, ada mie bebek gak ya???

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment