bebek rewel

Men are from Mars, Women are from Venus, Duck is from Earth

(KoKi) Cara Hidup “Cuek dan Nyantai”

Beberapa teman bebek bertanya, apa yang bebek lakukan untuk mengisi waktu santai? Pada saat bebek menjawab, “Baca berita!“  Maka banyak yang bereaksi terkejut seakan-akan membaca berita adalah kegiatan yang hina dina.

Padahal membaca situs-situs berita bisa seru juga loh. Dan situs-situs berita seperti kompas.com, detik.com, ataupun bbcnews.com tidaklah semembosankan yang banyak dikira orang.

Kompas.com misalnya. Di bagian kesehatan (sampai sekarang bebek gak abis pikir kenapa kolom ini dipasang di bagian kesehatan), ada sebuah kolom yang bernama KoKi (singkatan dari Kolom Kita) yang diasuh oleh Zeverina.

Kolom ini bisa dibilang merupakan tempat ngeblog orang-orang Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Kalau biasanya anda hanya membaca blog temen yang isinya cuma keluh kesah sekitar program diet yang tidak berhasil, maka di KoKi anda bisa membaca tentang masalah seks, resep masakan, pergaulan, kriminal, sejarah, pekerjaan bahkan rumah tangga.

Berikut ini adalah salah satu surat yang ditulis oleh G di Perth, Australia.

Mungkin benar juga apa yang dikatakan oleh salah satu dosen bebek. Di lingkungan yang kesenjangan sosialnya tinggi, maka ada kecenderungan bagi sebagian orang untuk menunjukkan status sosialnya lewat penampilan (alias, yang penting gaya…). Sementara pada masyarakat yang cukup merata kemakmurannya, orang-orangnya lebih santai.
———————————————————————————————–

Dear Zeverina dan para pembaca KCM,

Salah satu hal yang membuat saya betah di Australia adalah gaya hidup sebagian besar masyarakatnya yang “apa adanya”, sederhana, tidak suka formalitas. Saking “nyantai”-nya, kalau summer, adalah pemandangan biasa menemukan orang-orang bertelanjang dada bersandal jepit atau bahkan “nyeker” naik kereta sambil menenteng handuk. Mereka mau ke pantai.

Bukan itu saja, dosen pun mengajar pakai celana pendek dan sepatu sandal. Pernah seorang student bawa anjing ke ruang kuliah. Dosennya tidak kaget, justru mengijinkan. Itu anjing selama 2.5 jam perkuliahan tiduran saja di kolong meja, tidak bikin ulah (Betapa anjing pun diperlakukan seperti layaknya manusia).

Saking “nyantai”-nya, pernah di acara TV, seorang selebriti yang baru menjadi ibu diwawancarai di studio sambil membawa bayinya. Ketika bayinya menangis karena sudah saatnya disusui, selebriti itu dengan santainya mengeluarkan “bagian badannya” dan menyusui anaknya sambil terus diwawancarai.

Bukan hanya “selebriti” yang melakukan hal itu di depan umum. Seorang ibu anggota parlemen pernah pula membawa bayinya ke ruang sidang sambil menyusui (Disini kegiatan parlemen setiap hari disiarkan di TV).

Ada beberapa individu di masyarakat yang tidak mendukung “kegiatan” sebagian wanita yang dianggap tidak layak dilakukan di tempat umum itu (kelihatan oleh publik). Tapi ternyata lebih banyak anggota masyarakat yang mendukung para wanita itu, yang dianggap melakukan “kewajiban alamiah” seorang ibu. Jadi, kenapa mesti dibahas dari sudut pandang “kepantasan”. Bayi yang lapar ’kan tidak harus menunggu ibunya selesai sidang/bekerja. Para pekerja wanita pun tidak boleh di-diskriminisasi karena “tugas ganda”-nya sebagai ibu (Saya jadi terbayang para ibu Indonesia sering terlihat menyusukan bayinya di kendaraan umum sepulang mereka dari pasar).

Walhasil, tidak pernah ada larangan bagi para wanita itu melakukan “kegiatan alamiah”-nya di tempat umum. Selama Commonwealth Games kemarin, para atlet berprestasi banyak yang tampil di TV, diwawancarai di studio dengan membawa anak-anaknya.

Kesantaian seperti itu mungkin belum menjadi bagian cara hidup “middle to upper class” di Indonesia. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin “harus formal” penampilannya. Saya sering melihat orang Indonesia yang “overdressed”, terutama para wanitanya. Misalnya, ke kampus atau travelling pakai sepatu hak tinggi (sampai susah jalan), atau pakai “boot” tinggi dan stocking hitam saat panas-panasnya summer (itu pakaian mestinya dipakai saat winter!). Tampaknya mereka ingin menunjukkan status sosial mereka dengan penampilan (yang berlebihan, dan salah tempat dan waktunya pula).

Pernah saya memperkenalkan teman wanita saya di Jakarta dengan seorang pria Australian expat yang tinggal di Jakarta. Saya tahu betul, pria ini di negerinya “orang berada”. Di Jakarta dia punya bisnis pribadi. Teman saya itu meragukan “status ekonomi” expat itu, karena katanya, “Pemilik bisnis kok penampilannya tidak meyakinkan, pakai T-shirt dan celana pendek mulu”.

Saya cuma bisa tertawa. Walaupun sudah saya jelaskan cara hidup orang sini yang “nyantai”, tetap saja tidak bisa membuat teman saya berhenti menilai orang dari cara berpakaiannya (penampilan luar). Saya bilang, memangnya karena dia seorang businessman, di rumah pun harus berjas-dasi. Tinggal di daerah panas kan sehari-hari paling enak pakai kaos oblong dan celana pendek.

Janganlah teman bule itu, sayapun sering “diremehkan” teman sesama Indonesia disini. Suami saya orangnya “nyantai” (sederhana) penampilannya maupun gaya hidupnya, begitupun saya (merasa nyaman hidup dengan gaya hidup begini). Sebetulnya (bukan nyombong), kami hidup lebih dari cukup, sudah terjamin sampai tua, tidak ada kekuatiran tentang masa depan. Padahal, salah seorang teman Indonesia yang sering “meremehkan” saya itu rumah saja masih menyewa (bayar per minggu). Tapi soal penampilan, bagi dia prioritas. Apalagi kalau pulang kampung, harus kelihatan dong “luar negeri”-nya.

Saya sendiri mempunyai kakak yang “terjerat” keharusan pamer simbol status (Maklum, terbawa arus gaya hidup ala Indonesia). Semakin naik posisi dia di tempat kerjanya, semakin banyak simbol-simbol status yang harus dimiliki. Akibatnya, dia tidak sempat menabung banyak untuk “bekal” hari tuanya, sebab pengeluaran untuk menunjang gaya hidupnya setiap bulannya naik terus.

Menurut saya, buat apa harus memaksakan diri (diperbudak) demi penampilan luar, atau membuang-buang uang untuk membeli barang-barang konsumtif “simbol status”, biar “kelihatan kelasnya” oleh orang lain. Bukankah lebih enak hidup “nyantai” apa adanya, nyaman, jauh dari stress (akibat “tekanan dari luar” kita). Salam, G di Australia


World Jump Day

Wuahh….. Dunia makin panas!!!
Cuaca berubah-ubah seenak jidat dewa petir dan seenak perut dewa naga.

Di bulan Juli ini, dalam waktu 1 minggu sekitar 40 orang meninggal di Perancis akibat gelombang panas. Kurang lebih pada waktu yang sama, 2 orang yang sedang berjalan kaki di Belanda tiba-tiba meninggal. (Kalau hal yang sama terjadi di Indonesia, mungkin akan dikira sebagai hasil dukun santet)

Terdorong oleh rasa iseng, seni dan peduli (3 perasaan yang sepertinya tidak berhubungan satu dengan yang lainnya) akan tren pemanasan global, seorang seniman bernama Torsten Lauschmann mengadakan kegiatan yang bernama “World Jump Day”.

Kegiatan ini dilakukan serentak pada tanggal 20 Juli 2006, 11:39.13 GMT atau 18:39.13 WIB. Pada waktu tersebut, diklaim bahwa kurang lebih 600 juta orang di belahan bumi barat meloncat-loncat selama minimal 2 menit nonstop.

“Tujuan mulia” dari kegiatan ini adalah untuk mengubah atau memindahkan orbit bumi ke lintasan yang baru di mana bumi tidak akan mengalami pemanasan global (suhu bumi menurun).

Tentu saja semua ini hanya lelucon. 😀

Beberapa hal yang tidak mungkin dari kegiatan ini adalah:
1. (Katanya) Tidak mungkin untuk mengubah lintasan bumi dengan menggunakan masa dari planet bumi itu sendiri.

2. (Katanya) Kalau orbit bumi memang berubah, perubahan tersebut tidak akan mempengaruhi jarak antara bumi dan matahari. Hanya bentuk elips orbit bumi saja yang berubah. Dengan kata lain, perubahan tersebut tidak berguna karena bentuk lintasan bumi yang elips mengakibatkan jarak bumi dan matahari yang berbeda-beda sepanjang tahun.

3. (Katanya) 600 juta orang sama dengan 50% dari pengguna internet dunia. Jadi kemungkinan besar jumlah 600.248.012 juga adalah hasil “karya seni” semata. (Sama seperti halnya angka-angka rekayasa yang mungkin pernah anda buat saat praktikum ataupun membuat laporan :P)

Entah apakah ada yang menganggap serius kegiatan ini dengan meloncat-loncat seperti orang gila pada waktu yang ditentukan.

Kalaupun memang ada, orang tersebut mungkin tidak patut kita tertawakan karena sebenarnya ia sangat peduli akan masa depan dunia ini… :) 

Bagi yang ingin liat website resmi kegiatan aneh ini, silahkan langsung ke www.worldjumpday.org


Kebanggaan Indonesia (IPHO 2006)

Sedikit kesan dari Olimpiade Fisika Dunia ke 37 di Singapura.

Daku dapet dari sebuah milis yang daku ikutin. Mungkin ada beberapa orang yang sudah pernah membaca. Tapi ga ada salahnya bebek pajang di blog ini supaya semakin tersebar ke masyarakat luas. Sekalian sedikit daku rapihkan tanda baca dan marginnya supaya lebih enak dibaca.

Jarang-jarang euy dibuat bangga menjadi orang Indonesia…
(Anak Smak 1 pula juara pertamanya :P)

Thanks berat buat usaha para peserta dan para pembina, terutama Pak Yohanes Surya yang berhasil mengangkat nama Indonesia di dunia per-fisika- an… (ada ga ya istilah ini?)
——————————————————————————————

Sedikit cerita yang berkesan dari hasil IPHO 2006

1. Waktu upacara pembagian medali, dutabesar kita duduk disamping para dutabesar dari berbagai negara seperti Filipina, Thailand, dsb. Waktu honorable mention disebutkan, ternyata tidak ada siswa Indonesia.

Dubes-dubes bertanya pada dubes kita (kalau diterjemahkan) “Kok nggak ada siswa Indonesia?” Dubes kita tersenyum saja.

Kemudian setelah itu dipanggil satu persatu peraih medali perunggu. Ada yang maju dari Filipina, Thailand, Kazakhtan, dsb. Lagi-lagi dubes negara sahabat bertanya “Kok nggak ada siswa Indonesia?” Kembali dubes kita tersenyum. Dubes kita menyalami dubes yang siswanya dapat medali perunggu.

Kemudian ketika medali perak disebut, muncul seorang anak kecil (masih SMP) dengan peci dengan mengibarkan bendera kecil, dan namanya diumumkan Muhammad Firmansyah Kasim, dari Indonesia. Saat itu dubes negara sahabat kelihatan bingung, mungkin mereka berpikir “Nggak salah nih…” Ketika mereka sadar, mereka langsung mengucapkan selamat pada dubes kita.

Tidak lama kemudian dipanggil mereka yang dapat medali emas. Saat itu dubes negara sahabat kaget luar biasa, 4 anak Indonesia maju ke panggung berpeci hitam dengan jas hitam, gagah sekali. Satu persatu maju sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih. Mengesankan dan mengharukan. Semua dubes langsung mengucapkan selamat pada dubes kita sambil berkata bahwa Indonesia hebat.

Tidak stop sampai disitu. ketika diumumkan “The champion of the International physics olympiade XXXVII is… Jonathan Pradhana Mailoa.” Semua orang Indonesia bersorak. Bulu kuduk merinding. Semua orang mulai berdiri, tepuk tangan menggema cukup lama.

Standing Ovation….

Hampir semua orang Indonesia yang hadir dalam upacara itu tidak kuasa menahan air mata turun. Air mata kebahagiaan, air mata keharuan, air mata kebanggaan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar.

Segala rasa capai dan lelah langsung hilang seketika. Sangat mengharukan….

Praise God…

2. Selesai upacara, semua orang menyalami.

Orang Kazakhtan memeluk erat-erat sambil berkata, “Wonderful job…”

Orang Malaysia menyalami berkata, “You did a great job…”

Orang Taiwan bilang, “Now is your turn…”

Orang Filipina, “Amazing…”

Orang Israel, “Excellent work…”

Orang Portugal, “Portugal is great in soccer but has to learn physics from Indonesia”

Orang Nigeria, “Could you come to Nigeria to train our students too?”

Orang Australia, “Great….”

Orang Belanda, “You did it!!!”

Orang Rusia mengacungkan kedua jempolnya.

Orang Iran memeluk sambil berkata, “Great, wonderful…”

86 negara mengucapkan selamat. Suasananya sangat mengharukan. Saya tidak bisa menceritakan dengan kata-kata…

3. Gaung kemenangan Indonesia menggema cukup keras. Seorang prof dari Belgia mengirim sms seperti berikut: Echo of Indonesian Victory has reached Europe! Congratulations to the champions and their coach for these amazing successes! The future looks bright…. Marc Deschamps.

Ya benar kata Prof. Deschamps. Kita punya harapan….

Salam,

Yohanes


Idol(a)

BT dan males belajar, tapi blum ngantuk. 
Karena itu daku mengisi waktu luang dengan ngelantur di kedai bakmi.
————————————————————————————————–

Pada awal-awal kepopuleran program American Idol, daku sempat bersitegang dengan guru les inggris daku, Monica, tentang pentingnya komentar sadis dari para juri acara tersebut (baca: Simon Cowell).

Walau daku bukan penggemar acara Idol-Idolan, tapi untuk American Idol, daku gembira-gembira juga untuk sesekali (walau sangat amat jarang sekali) menyempatkan diri menonton acara ini.

Sebagai seekor bebek ga jelas, daku biasanya mencari kesibukan lain sambil menunggu para peserta selesai bernyanyi, entah dengan menonton acara lain, membaca koran ataupun celingak-celinguk melihat capung nyasar yang berpacaran dengan lampu.

Pada detik lagu selesai dilantunkan, di saat itulah hiburan bagi bebek dimulai! Saatnya menikmati kicauan kejam para juri… Peserta biasanya berdiri mematung dengan ekspresi harap-harap cemas, terutama saat menunggu komentar dari…. Er…., you know who.

Dengan alasan yang sama, terus terang daku lebih suka menonton acara seleksi awal daripada acara final Idol-idolan tersebut. Takjub gituloh, melihat betapa banyaknya orang yang kulitnya (terutama wilayah muka) sudah bermutasi menjadi keras dan tebal sehingga perasaan malu pun memantul tanpa sempat memasuki hati mereka yang paling dalam. (Mulai deh ngelanturnya…)

Kembali ke perdebatan di tempat les inggris. Monica, seseorang yang baik hati dan keibuan, menentang habis praktek pelecehan di depan kamera tersebut. Menurut dia, apa untungnya memberi komentar yang kelewat batas? Bukankah cukup untuk mengatakan bahwa suaranya kurang memenuhi standar acara tersebut? Dengan berkomentar sadis kelewat batas, bukankah para juri tersebut bisa saja tanpa sengaja membunuh bakat terpendam para peserta? Bukankah bisa saja peserta tersebut sebenarnya memang penyanyi bersuara emas, namun karena terlalu demam panggung dan grogi, lalu suaranya menjadi kaku dan karatan? Dan banyak lagi pengandaian yang ia buat untuk mendukung pernyataannya.

Dengan inggris yang pas-pasan, bebek menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang (banyak) – lebih (sedikit) sebagai berikut:

1. “Apa untungnya memberi komentar yang kelewat batas?”
Jawabannya sungguh mudah dan sederhana. Coz… WE LOVE IT!! Tidak bisa dipungkiri bahwa celaan dan hinaan (dan kadang pujian) yang diberikan para juri adalah unsur hiburan yang ditunggu oleh orang-orang yang ga jelas seperti bebek rewel ini. Ayo ngaku secara jujur, dikau juga berpendapat sama kan? 😀

2. ”Dengan berkomentar … bla bli blu … karatan?”
Untuk yang satu ini, hendaknya kita melihat kembali pada judul acara tersebut: “American Idol”. Menurut daku, acara tersebut bertujuan untuk mencari seorang idola yang siap diorbitkan. Ibaratnya, kalau di kolom jodoh, ‘mencari seseorang yang siap nikah’.

Dengan kata lain, seseorang tersebut tidak hanya mempunyai kualitas suara seorang idola, tetapi juga mempunyai mental, semangat juang dan profesionalitas seseorang yang patut disebut sebagai idola. Kualitas suara seseorang tersebut tidak mudah hancur hanya karena grogi atau beban emosi lainnya. Bukan pula seseorang yang masih harus dibina kualitas suaranya.

Lagi-lagi menurut daku, kritik-kritik pedas yang dilontarkan juri tersebut sangat berguna untuk menguji mental peserta seleksi dan berfungsi sebagai latihan mental para calon pemenang di babak final sebelum mereka benar-benar terjun ke dunia profesional tarik suara yang sesungguhnya.

Sejauh ini, mungkin hanya William Hung yang menjadi seorang Idola “lulusan” American Idol yang tidak mempunyai kualitas suara seorang penyanyi profesional. Walau ia dikritik secara tajam oleh para juri, William Hung berhasil lulus dari ujian mental tersebut. William membuktikan bahwa ia mempunyai sikap rendah hati dan mental yang luar biasa kuat. 2 sifat yang sepatutnya dimiliki oleh seorang Idola yang ideal.


Misi Doraemon

Cerita di bawah ini merupakan terjemahan bebas dari salah satu artikel yang tersebar di internet (lupa dari situs Doraemon yang mana).

Sebagai kisah yang terkadang menceritakan perjalanan menembus waktu, masa depan dan masa lalu dalam cerita Doraemon ternyata tidak bersifat linear, melainkan bercabang.

Sebelum Doraemon diutus ke masa lalu, Sewashi (Nobita great great grandson – entah apa terjemahan bahasa Indonesianya) merupakan keturunan Nobita dan… JAIKO!!

Namun setelah Doraemon datang sebagai juruselamat bagi Nobita, masa depan telah “berubah”. Sewashi menjadi keturunan Nobita dan Shizuka. Walau begitu, tidak diceritakan apakah dengan berubahnya garis nasib leluhurnya, Sewashi mengalami perubahan wajah atau perubahan kecerdasan.

Sewashi yang miskin (keturunan dari Nobita dan Jaiko) seakan-akan hilang ditelan bumi. Namun, anehnya Doraemon tetap tinggal bersama Nobita.

Logikanya, jika memang masa depan “berubah” dan Sewashi sebagai keturunan Nobita tidak pernah jatuh miskin, maka seharusnya Doraemon pun menghilang. Sebab di masa depan yang “baru”, mereka tidak pernah membeli Doraemon yang merupakan robot kelas dua. Dan tidak seharusnya pula Dorami menjadi adik bagi Doraemon. Sebab mereka berdua memang “terlahir” di masa depan yang berbeda.
————————————————————————————————–

Pada abad ke 22, hiduplah sebuah keluarga miskin yang merupakan keturunan dari Nobi Nobita. Kemiskinan keluarga tersebut bermula dari hutang-hutang yang ditinggalkan oleh Nobita kepada keturunannya. Karena keadaan ekonominya yang sangat menyedihkan, keluarga tersebut hanya dapat membeli sebuah robot kelas dua di sebuah pelelangan robot. Sebuah robot gagal di mana tidak ada seorangpun yang berniat untuk membelinya. Robot tersebut adalah Doraemon.

“Majikan” Doraemon yang baru bernama Sewashi (Nobita’s great great grandson). Setelah dipikir-pikir, Sewashi menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan untuk merubah nasib keluarganya adalah dengan cara merubah nasib Nobita.

Dengan berubahnya nasib Nobita, diharapkan agar masa depan keturunannya juga berubah. Oleh karena itu, dikirimlah Doraemon ke “masa lalu” untuk membimbing Nobita ke kehidupan yang lebih baik.

Doraemon tiba di tahun 1969. Secara tiba-tiba ia keluar dari laci meja belajar Nobita. Mulai saat itu, Doraemon tinggal bersama Nobita dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga Nobi.

Misi Doraemon cukuplah berat. Sebab, Nobita ternyata merupakan anak yang lemah dalam segala hal. Ia begitu malas belajar, tidak berniat di bidang olahraga dan tidak bersemangat untuk melakukan hal-hal yang berguna.

Doraemon sendiri bukanlah robot yang paling pintar. Tidak jarang Doraemon membuat kesalahan yang manusiawi seperti lupa merapikan peralatannya yang tergeletak begitu saja di kamar Nobita (yang kemudian akan disalahgunakan oleh Nobita) ataupun terlalu lembek terhadap Nobita. Walau begitu, Doraemon selalu berusaha menolong Nobita dan menjadi teman yang baik bagi Nobita.

Ditinjau secara sekilas, sepertinya Doraemon cukup berhasil dalam merubah nasib Nobita. Setelah kedatangan Doraemon, masa depan “berubah”. Istri Nobita di masa depan bukan lagi Jaiko (adik Giant!), tetapi Shizuka. Keturunannya tidak lagi miskin seperti sebelumnya dan sudah mampu untuk membeli robot berkualitas sebagai robot rumah tangga mereka. Robot tersebut bernama Dorami, yang kemudian dianggap sebagai adik Doraemon.

Kehadiran Doraemon juga memberi efek samping yang negatif. Nobita menjadi tergantung dengan peralatan Doraemon dan hampir selalu menyalahgunakan peralatan tersebut. Seringkali, sebuah masalah kecil menjadi besar hanya karena penyalahgunaan alat Doraemon.