Apa yang Menjadi Pertimbangan Bebek untuk Mempercayai Suatu (“)Fakta(“)?
Aslinya merupakan postingan bebek di salah satu milis.
Di bawah ini adalah versi yang sudah diedit supaya lebih memenuhi kelayakan sebagai artikel yang berdiri sendiri di bebekrewel.com
——————————————————————————-
Sebagai unggas yang gemar membaca dan bersurfing di internet, bebek dituntut untuk bersikap cerdas (ck-ck-ck…) dalam memilah-milah bahan bacaan mana yang patut bebek percaya kebenarannya.
Berikut ini adalah beberapa kriteria yang biasa menjadi pertimbangan bebek untuk mempercayai kebenaran suatu fakta (atau mau dianggap “fakta” juga boleh. Toh benar bagi bebek belum tentu benar bagi manusia kebanyakan :P).
1. Jika yang menjadi pokok berita adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga atau diucapkan oleh seorang tokoh, maka bebek akan berusaha men-download arsip ingatan yang tersimpan di dalam otak bebek:
– Bagaimana reputasi tokoh/lembaga tersebut?
– Apakah tokoh/lembaga ini dikenal sebagai ahli di bidangnya? (baca: cukup ilmu untuk mengeluarkan pernyataan tersebut)
– Bisa dipercayakah pendapatnya? (Biasanya bebek nilai dari ucapan-ucapan terdahulu)
– Beranikah melakukan koreksi terhadap pendapatnya sendiri jika kemudian pendapatnya tersebut terbukti salah?
– Bagaimanakah sikap tokoh/lembaga tersebut ketika dikritik oleh orang lain?
– Apakah tokoh/lembaga ini bisa mempertimbangkan banyak hal dan mengambil sudut pandang yang berbeda?
– Apakah tokoh/lembaga ini cukup netral? (atau (“)netral(“) juga boleh)
– Apakah tokoh/lembaga ini bisa menanggapi dengan baik pertanyaan dan pernyataan yang bertentangan dengan pendapatnya?
– Apakah tokoh tersebut mempunyai kompetensi untuk berkomentar terhadap kasus yang sedang terjadi?
Misal: Kalau Ronaldo berkomentar tentang suatu pertunjukkan opera, maka bebek hanya akan membaca komentarnya sebagai sebuah komentar dari seorang penonton. Bebek tidak akan langsung menilai bahwa opera yang dia tonton itu bagus atau jelek kualitasnya hanya dari ucapannya seorang penonton. Beda kalau yang memberi komentar itu seseorang yang juga penyanyi opera kawakan misalnya. Bebek akan menganggap serius komentarnya, karena orang tersebut bebek anggap cukup kompeten untuk memberi penilaian tentang baik buruknya suatu pertunjukan opera.
Jadi dalam hal ini, bebek bukannya gak percaya sama Ronaldo. Tentunya bebek akan menganggap serius komentar Ronaldo kalo yang diceritakannya adalah tentang masalah sepak bola misalnya.
– Jika yang memberi pernyataan adalah seorang tokoh (terutama pejabat), maka bebek akan berusaha mencari tahu dalam kapasitas apa tokoh tersebut memberi komentar?
Point ini penting terutama untuk Indonesia yang kadang pejabatnya masih merangkap di mana-mana (baik merangkap jabatan di panggung politik atau masih terlibat dengan dunia bisnis). Jika suatu tokoh mengeluarkan pernyataan, maka patut diperhatikan dalam kapasitas apa dia berkomentar? Sebagai seorang menteri? Seorang pebisnis? Sebagai pribadi dia sendiri?
Mungkin cerita berikut bisa memberi gambaran tentang pentingnya memperhatikan dalam kapasitas apa seseorang berbicara. (Kalau tidak salah cerita ini dari buku Anthony de Mello. Lupa detailnya secara persis, entah apakah ini kisah nyata atau cuma rekaan):
Saat jamuan malam, anak dari presiden Amerika mengeluarkan pernyataan yang sangat kurang ajar tentang ayahnya. Namun bukannya marah, presiden tersebut hanya tersenyum.Â
Seorang tamu bertanya kepada presiden, “Kenapa anda tidak memarahi anak anda?”
Presiden itu menjawab, “Sebagai seorang anak, ia memang patut dihukum atas perkataannya yang kurang ajar. Tapi sebagai seorang warga negara, kebebasan berekspresi dia dilindungi oleh undang-undang.”
Mungkin yang dikritik oleh anak tersebut bukanlah peran si presiden sebagai seorang ayah, tapi peran si ayah sebagai presiden. Oleh karena itu, presiden menganggap bahwa anaknya bukan mengkritik dengan kapasitas sebagai seorang anak, tapi sebagai seorang warganegara.Â
2. Apa media tempat berita tersebut diberitakan? Apakah media tersebut patut dipercaya?
Silahkan jika mau menganggap bebek bias dan berat sebelah. Tapi bebek cukup menganggap penting kredibilitas media di mana berita tersebut disajikan.
Ada media yang memang sudah terkenal bias, memihak, berat sebelah, tukang pelintir berita dan sering mencampur adukkan antara opini dan fakta (padahal kalo mau tulis opini ya harusnya di rubrik opini/tajuk rencana).
Mau berita apapun kalau bebek membacanya dari media-media yang menurut bebek kredibilitasnya patut dipertanyakan, maka bebek akan mencari sumber lain sebagai pembanding. Kalau tidak ditemukan sumber lain yang menguatkan (tentunya diharapkan bahwa sumber lain tersebut cukup bisa dipercaya), maka bebek akan mengabaikan berita tersebut atau paling banter hanya bebek percaya sampai pada tingkat ‘KATANYA’.
Bagi bebek, media itu ibarat kaca jendela di mana melalui kaca tersebut bebek melihat pemandangan di luar. Untuk melihat pemandangan tersebut seasli-aslinya, maka bebek akan berusaha mencari kaca jendela yang paling jernih dan paling transparan. Kalau kacanya sendiri sudah dalam keadaan kotor, retak ataupun dipasangi filter warna, bagaimana mungkin bebek bisa melihat pemandangan di luar sebagaimana aslinya?
3. Apakah berita tersebut sejalan dengan fakta-fakta yang ada selama ini? (Atau yang bebek yakini sebagai fakta yang benar dan tidak bias-bias banget)
Misal: Kalau sekarang ada berita yang mengatakan bahwa tingkat korupsi Indonesia lebih rendah daripada di Jepang dan Singapura, ya bebek gak akan percaya berita tersebut. Pengalaman dan fakta-fakta yang ada membuktikan sebaliknya.
4. Berhati-hatilah dengan angka statistik dan hasil survey!
Jangan mudah percaya dengan angka statistik (yang biasanya mengerikan itu). Selidikah terlebih dahulu:
– Siapa/lembaga apakah yang melakukan survey?
– Apakah orang/lembaga tersebut mempunyai kepentingan tertentu yang bisa mempengaruhi kenetralan dari survey tersebut?Â
– Siapakah yang menjadi responden survey? (Perhatikanlah latar belakang dari responden seperti pendidikan, domisili dan detail-detail relevan lainnya yang mungkin bisa mempengaruhi hasil survey)
– Apa saja pertanyaan yang ditanyakan dalam survey tersebut?
– Bagaimana metode surveynya?
– Apakah responden (kira-kira) mengerti dengan jelas dan pasti mengenai hal-hal yang ditanyakan dalam survey? (Biasanya terkait dengan urusan definisi suatu masalah)
– Apakah jumlah responden kira-kira cukup untuk menggeneralisasi hasil dari survey tersebut?
Sebagai contoh, mari kita menelaah lebih jauh berita di kompas.com yang berjudul: “Satu dari Lima Orang Indonesia Kirim SMS Selingkuh” (http://www.kompas.com/ver1/Selular/0702/13/140752.htm)
Dalam artikel tersebut, definisi yang digunakan untuk kata selingkuh adalah: “pesan pendek yang berkonotasi seks atau rayuan kepada orang lain yang bukan pasangannya.”
Entah menurut orang lain, tapi menurut bebek definisinya sangat rancu sekali. Tindakan selingkuh saja tidak mempunyai ukuran yang jelas (Bagi sebagian orang, makan bersama lawan jenis tanpa memberitahukan pasangan bisa saja dikategorikan selingkuh. Sementara bagi sebagian orang lainnya, selingkuh serasa belum lengkap tanpa melibatkan perkara ranjang). Apalagi definisi dari sms selingkuh?Â
Sesuatu yang berkonotasi seks bagi seseorang mungkin biasa-biasa saja bagi orang lain. Sepertinya penelitian yang sama juga dilakukan di berbagai negara. Tentu sulit untuk membandingkan hasil survey di Indonesia dan di Jerman karena kebiasaan penggunaan handphone di kedua negara mungkin berbeda dan apa yang dianggap merayu atau berkonotasi seks di Indonesia mungkin bisa saja merupakan gurauan biasa di Jerman.
Dan kita lihat lagi cuplikan dari artikel tersebut: “Temuan-temuan ini merupakan bagian survai global yang melibatkan 8.518 orang pelanggan di Filipina, Malaysia, Indonesia, Singapura, Rusia, Italia, Inggris dan Jerman.”
Hello there? 8515 responden dari 8 negara? Mau dirata-ratakan berarti hanya 1000 sekian orang dari tiap negara. Apakah survey yang dijawab oleh 1000 orang pemakai HP di Indonesia bisa mewakili jutaan pemakai HP di Indonesia?
Silahkan pikirkan sendiri apakah statistik yang satu ini perlu ditanggapi secara serius atau hanya untuk sekedar tahu saja. ^____^
4 Comments
Comments RSS TrackBack Identifier URI
Leave a comment
Akur. Ini namanya appeal to popularity. Mentang2 sejumlah orang bilang A lantas menjadi pakem. Kalau 100 orang bilang Amien monyet apakah dengan demikian Amien memang seekor monyet?
mostly, orang mempercayai berita sebagai fakta krn mengikuti opini yg sudah memenuhi kepalanya. yang bias pun, kadang diyakini sbg fakta.
salam kenal.
artikel nya baguss…
saya suka artikel anda tentang PRT.kebetulan saya lagi cari referensi tentang hal2 yang berhubungan dengan PRT.ada yang bisa bantu?jujur saya katakan,apa yang bebek katakan tentang PRT indo,mostly are right.