bebek rewel

Men are from Mars, Women are from Venus, Duck is from Earth

Setali Tiga Uang: Hidung Belang dan Mata Keranjang

Bagi sebagian orang, mendengar kata “Bahasa” maka yang tergambar di otaknya adalah sesuatu yang membosankan, mengantukkan seperti pelajaran Bahasa Indonesia pada umumnya.

Namun menurut daku, setidaknya ada 1 hal yang bernama Bahasa yang gak bosen-bosenin amat (walau kadang BT-in juga): Kolom Bahasa di Kompas!!

Artikel ini bisa dilihat langsung dari sumbernya di:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0111/17/dikbud/baha12.htm
——————————————————————————– 

TAK pelak, hidung belang dan mata keranjang adalah setali tiga uang belaka. Keduanya berurusan dengan fornifikasi: bersetubuh bukan hanya dengan satu saja pasangan cinta, melainkan dengan berganti-ganti pasangan tanpa mengucapkan pernyataan cinta sekalipun.

Bagaimana istilah hidung belang dan mata keranjang lahir dan terpakai dalam khazanah perbahasaan Indonesia? Kisahnya menarik.

Istilah hidung belang lahir di Jakarta pada zaman yang amat menyulitkan bagi lelaki-lelaki Belanda, tepatnya abad ke-17 di masa awal pemberdirian VOC. Orang Belanda yang datang ke Indonesia pada zaman itu hampir semua tanpa istri dan karuan, seperti tulis Victor Ido dalam Indie in den gouden ouden tijd, menimbulkan masalah sosial dan moral yang pelik.

Salah satu masalah yang tak terhindarkan dari masa itu adalah berkembangnya secara leluasa pergundikan lelaki Belanda dengan perempuan-perempuan pribumi. Namun, seperti kata Adelante dalam Concubinaat bij de ambtenaren van het Binnenlandsch Bestuur in Nederlandsch-Indie, pergundikan yang merupakan pilihan sulit di depan jalan buntu meluas di antero negeri bukan saja di kalangan Belanda sipil dan pedagang, tetapi juga para penguasa.

Setidaknya pilihan konkubinase atau pergundikan yang dilakukan Belanda terhadap pribumi tersebut lebih aman, selain memang tidak ada jalan lebih nalar untuk menghadapi dorongan-dorongan insani, berhubung langkanya perempuan kulit putih di negeri ini. Salah seorang perempuan yang pernah terlibat cinta dengan lelaki Belanda, dan karenanya menimbulkan heboh, adalah Saartje Specx. Namun, oleh peristiwa tragis yang menimpa kekasihnya, maka lahirlah istilah ini: hidung belang.

Saartje Specx, sebagaimana dicatat oleh Hertog dalam Vrouwen naar Jacatra, adalah anak angkat Jan Pieterzoon Coen. Ia dicintai oleh Pieter Cortenhoeff, perwira pengawal sang Gubernur Jenderal. Pada suatu hari mereka kedapatan bercumbu bercinta di sebuah kamar. Coen geram sekali, lantas menghukum perwira muda itu, menuduhnya melakukan zina. Cortenhoeff digantung di tengah kota dengan lebih dulu dicorengi hidungnya dengan arang.

Sejak itu semua orang yang kedapatan berzina ditangkap, lantas dibelangi hidungnya atau dicorengi wajahnya dengan arang. Karenanya lahir istilah yang unik ini. Sekurangnya membelangi hidung dengan arang masih lebih lunak dan santun ketimbang yang dilakukan orang-orang sekarang, abad ke-21, menelanjangi dan mengarak di jalan, bahkan kemudian membakarnya.

Bagaimana dengan mata keranjang yang kira-kira setali tiga uang dengan hidung belang? Ini hanya persoalan kekeliruan melakukan transkripsi dan transliterasi tulisan Arab-gundul, yang merupakan tulisan awal Melayu, ke dalam aksara Latin. Dalam tulisan Arab-gundul, mata keranjang dibentuk dengan huruf-huruf mim digandeng dengan alif dan ta, lalu kaf digandeng ra menyusul nun, jim, dan ngain. Jadi, karena kaf dan ra disatukan, maka pelatinannya menjadi keranjang.

Kata depan ke pada waktu itu memang digabung dengan kata yang mengikutinya. Mestinya dengan Ejaan Yang Disempurnakan, mata keranjang ditulis sebagai mata ke ranjang, yang maksudnya adalah lelaki atau perempuan yang tergiur melihat dengan mata pada lawan seksnya, lantas pikirannya tertuju ke atas ranjang.

Setali tiga uang berurusan dengan kebijakan Belanda dulu membuat uang bernilai setali (25 sen) untuk meringkas dua keping nilai ketip (10 sen) dan satu keping nilai kelip (5 sen). Jadi, setali adalah tiga uang yang menjadi satu, maksudnya sama saja nilainya. Mudah-mudahan orang tidak membuat ungkapan pengganti sama saja dengan peruangan sekarang, menjadi Soekarno-Hatta satu uang, mengingat nilai Rp 100.000 telah meringkas menjadi satu lembar dan tak cukup untuk ongkos taksi tarif baru dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur.

* Remy Sylado, munsyi yang tinggal di Jakarta.

2 Comments

  1. Comment by Edbert on August 22, 2006 12:54 am

    Bek, kalo asal kata dari lelaki buaya itu darimana dong?

    (Sie)

  2. Comment by eileen on August 25, 2006 5:25 am

    dari elu, EDBERTTT bwahahaha..karna ada dirimu, muncullah kata2 itu huehehe

    @ bebek: i miz uuuu ^—–^ haha.. *bebek gubraxx d pasti*

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment